BUKAN CINTA MILIK MANUSIA BIASA

13.17 Farhan syabani 0 Comments

##
ku tetap
mencintaimu masih
meski kau tak cinta aku
ku tetap merindukan
meski kau tak pernah merasa sedikitpun untuk merindukan aku

Reff..
cintaku ini....
bukan cinta milik....
manusia biasa...
cintaku ini....
cinta sejati....
yang paling sejati....

ku tetap
memaafkan salahmu
meski kau terus sakiti
ku tetap menerima
seribu kata maaf yang slalu kau ucapakan dari bibirmu yang manis

Back to Reff..
Back to ##
merindukan aku

Lirik lagu dewa ini sering sekali didengar oleh seorang pemuda bernama Lukman. Setiap hari, mp3nya selalu memutar lagu ini, menggambarkan dirinya yang sedang mendapatkan cobaan cinta dari Sang Pencipta. Ingin sekali dia memendam perasaan ini atau bahkan membuangnya ke ujung dunia tetapi tak kuasa dia membuang perasaan indah ini karena selalu muncul bersamaan dengan datangnya seorang wanita bernama Dewi. Wanita yang cantik, gigih, dan manis ketika dipandang.
Perkenalan yang diawali oleh pembagian kelompok itu membuat Lukman dekat dengan Dewi. Perkenalan yang awalnya hanya sebatas rekan kerja berubah manjadi pertemanan layaknya kucing dan tikus yang di mana Lukman menjadi karakter kucing yang selalu mengganggu tikus di manapun dia berada. Sehingga dari mengganggu itulah membuat Lukman menemukan ada ganjalan dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Perasaan inilah yang membuat pikirannya sempat terganggu dan membuat dia yang gila jalanan kecelakaan karena bermaksud menekan perasaan yang sungguh menyakitkan jiwanya.
“Man, tangan loe gak papa?”, tanya Beni yang sedang asik nongkrong di depan kelas.
“Gak papa lagi. Biasa,,, lagi hobi nyium jalanan”, canda Lukman.
“Ih,,,, hobi,, rasain tuh,, kualat loe gara - gara nyubitin gue melulu sih,,,”, tambah Dewi sembari tertawa senang.
“Ye, awas loe,,,liat aja nanti di kelas”, Lukman hanya bias tersenyum mendengar celotehan Dewi kepada dirinya.
“Coba aja kalo berani, nanti gue pegang tangan loe yang sakit”, tantang Dewi bercanda.
“Ben!, nantangin dia Ben”, Lukman mendekat Dewi dan memulai aksinya sebagai seekor kucing yang menggangu tikus.
“Udah ah,,, kayak kucing ma tikus aja sih kalian berdua”, Beni mencoba menghentikan kelakuan buruknya Lukman kepada Dewi.
“Tau nich Ben!, si Lukman asal ama cewek kasar tapi ama cowok alus”
“Biar aja, ye,,,,”, Lukman membantah pernyataan yang keluar dari mulut Dewi seraya pergi masuk ke kelasnya.
***
“Lukman!, diem ah”, Dewi mulai kesal kepada Lukman yang sejak tadi mengganggu kegiatannya.
“Sakit ya? sorry deh”, Lukman langsung merasa bersalah kepada Dewi karena raut wajah Dewi sudah terlihat kesal akan kelakuannya.
“Liat tuh, merah semua nich gara - gara loe cubitin”, Dewi mengelus tangannya yang merah karena keisengan Lukman.
“Mana – mana!, sini coba gue liat”, Lukman mencoba melihat tangan Dewi yang sakit karena ulahnya.
“Ogah ah, ntar di cubitin lagi. Awas loe!, jangan ikut - ikut gue lagi, kalo ikut tangan loe yang sakit gue pegang lho,,,,”
“Pegang aja, dah sembuh koq, ye,,,,,”
“Dewi!, Lukman tuh sering gangguin loe bukan maksud tuk nyakitin loe. Itu artinya dia itu sayang sama loe”, ucap Deni spontan melihat kekesalan Dewi dengan harapan bisa menghilangkan rasa kesal Dewi yang jelas terpancar di wajahnya. Mendengar ucapan Deni, Lukman hanya tersenyum tak berpikir apa - apa karena dia lebih tau tentang kondisi yang sebenarnya terjadi.
“Den!, dia tuh begitu ama semua cewek,”, balas Dewi sambil pergi ke tempat aman di dalam kelas. Lukman pun berhenti mengganggu Dewi dan mencari sasaran lain di dalam kelas.
***
Di keheningan malam, hand phone salah seorang sahabat Lukman berdering kencang, menggangu si pemilik hand phone berharap si pemilik hand phone mengangkat hand phonenya.
“Lukman!, tumben nelpon, kangen loe ma gue??” canda sahabat Lukman bernama Dayat yang dulu satu sekolah dengan Lukman.
“Tau aja loe kalo gue kangen ma loe”, Lukman mengawali pembicaraannya dengan sedikit bercanda. “Gue lagi pingin cerita banyak nich”.
“Akhirnya mau cerita juga loe”, nada Dayat terdengar lega.
“Mang loe tau semua masalah gue?”
“Kita tuh sahabatan dah lebih dari 6 tahun, ya jelas gue tau kalo loe tuh lagi punya masalah banyak. Gini - gini kan gue juga sering merhatiin status di facebook loe. Apa lagi status yang kalo gak salah bunyinya ‘kenapa harus sakit,, dasar bego’, dari situ gue yakin loe lagi dapet masalah hati. Betul gak!”, tebak Dayat.
Lukman hanya terdiam seribu bahasa mengetaui sahabatnya begitu setia memperhatikan perkembangan dirinya. Padahal dia sendiri tidak terlalu peduli terhadap perkembangan semua teman - temannya yang dulu pernah satu sekolah dengan dirinya.
“Dah deh, solusi gue tuh, buang tuh nama dari hati loe, coba pikirin aja yang laen. Cewek tuh banyak sob. Apa lagi loe tuh masih tingkat satu, semester satu lagi... Misal loe hancur cuma gara - gara hati loe tuh, gue pastiin tuh cewek bakal masuk rumah sakit”, ancam Dayat.
Lukman mencoba menenangkan hati dan pikirannya yang kacau. Kacau bukan hanya karena Dewi di dalam hatinya tetapi ancaman Dayat yang selalu terbukti di hadapannya.
“Sekarang loe milih!, buang tuh nama atau loe pelihara nama itu dengan syarat kehidupan loe gak boleh hancur”, Dayat memberi pilihan kepada Lukman.
Dengan tenang Lukman menjawab, ”Dayat, gue pernah denger perkataan seseorang ‘butuh satu detik loe suka dengan dia, butuh satu hari loe deket dengan dia, butuh satu minggu loe mencintai dia, tapi butuh seumur hidup loe melupakan dia’, perkataan itu yang menyebabkan gue gak bisa menghapus nama dia dari dalam hati gue. Bahkan, kalo semua perkataan gue bisa terkabul, cuma satu permintaan gue. Gue berharap gue gak kenal dia atau gak kenal kampus tempat gue dan dia berada atau bahkan gak kenal dunia ini yang benar - benar membuat gue sengsara. Tapi sob!, tuh gak mungkin”, tanpa terasa air mata Lukman terjatuh dari matanya, tergambarkan bagaimana besarnya cobaan Sang Pencipta kepada dirinya. “Takdir gue dah kayak gitu, yang gue pikirin saat ini, bagaimana posisi dia yang spesial di hati gue berubah seperti dulu. Cuma seorang sahabat di hadapan gue, gak lebih”.
“Lukman!, gue bingung harus memberi solusi apa sama loe. Mungkin ini solusi terakhir dari gue. Jika rasa itu membuat loe lebih baik dalam menghadapi kehidupan yang semakin keras, jaga perasaan itu, biarkan perasaan itu tumbuh, biarkan perasaan itu menghiasi hati loe yang gue rasa sedang kelam. Karena gue pernah dengar filosofi kalau semakin loe buang semakin cinta itu menyiksa kehidupan loe. Gue takut kalau loe buang rasa itu, kehidupan loe hancur dan itu malah menjadi tanggungjawab gue karena tadi gue sempat kasih solusi untuk membuang perasaan loe sama tuh cewek. Andaikata solusi gue yang terakhir itu berhasil, cinta yang loe punya itu gue anggap bukan cinta milik manusia biasa karena cintanya itu gak akan menghancurkan orang yang sedang merasakannya”, Dayat mengakhiri pembicaraan dirinya dengan Lukman dengan sedikit untaian motivasi untuk Lukman.
Kata – kata terakhir Dayat mengingatkan Lukman pada lagu yang akhir – akhir ini sering dia dengar.

##
ku tetap
mencintaimu masih
meski kau tak cinta aku
ku tetap merindukan
meski kau tak pernah merasa sedikitpun untuk merindukan aku

Reff..
cintaku ini....
bukan cinta milik....
manusia biasa...
cintaku ini....
cinta sejati....
yang paling sejati....

ku tetap
memaafkan salahmu
meski kau terus sakiti
ku tetap menerima
sribu kata maaf yang slalu kau ucapakan dari bibirmu yang manis

Back to Reff..
Back to ##
merindukan aku”
***
“Lukman!, balik ke kelas yuk, nanti ada dosen lagi”, Beni mengajak Lukman balik setelah kenyang di warung makan mami.
“Tunggu say, gue mau bayar dulu”, Lukman pergi ke kasir untuk membayar makanan yang baru saja dia makan.
“Ya udah, gue tunggu di warung depan”, Beni pun langsung pergi ke warung depan untuk membeli aqua gelas.
“Mau gak?!”, Beni menawarkan satu gelas aquanya kepada Lukman.
“Makasih say”, Lukman mengambil aqua yang ditawarkan Beni kepada dirinya.
“Dah ah, normal dikit napa, jangan homo melulu”, sepertinya Beni sedang enggan mendengar kata say dari mulut seorang laki - laki yang kini sudah menjadi kebiasaan anak - anak di kelas.
“Sory sob!, gue tuh normal. Biasalah, kebiasaan kaum cacat di kelas”.
“Tapi udah cukup, udah saatnya loe benar - benar menjadi normal”, Beni mempertegas pernyataannya yang pertama.
“Maksud loe?!!”, Lukman heran dengan ucapan Beni kepadanya. Lukmanpun bertanya - tanya pada dirinya sendiri, apa yang membuat dirinya terkesan tidak normal.
“Udahlah, gak usah bohongin hati loe sendiri”, Beni tersenyum melihat tingkah herannya Lukman kepada dirinya.
Lukman pun memaksakan dirinya untuk membalas senyuman Beni berharap Beni tidak tau apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya , ”Emang apa?!, kayaknya gue biasa - biasa aja tuh”.
“Sebelumnya gue mau nanya, loe percaya gak kalo manusia itu bisa baca pikiran orang lain?”, tanya Beni terhadap Lukman.
“Percaya”, jawab Lukman santai.
“Percaya gak kalo manusia bisa baca pikiran orang lain hanya dengan melihat gerak - gerik orang tersebut?”, tanya Beni untuk yang kedua kalinya.
“Percaya”, jawab Lukman santai karena dia juga sering membaca pikiran orang lain hanya dengan melihat gerak tubuh seseorang walaupun tidak seratus persen benar.
“Gue tau apa yang sebenarnya terjadi ma loe. Jujur aja!, jangan siksa diri loe dengan bohongin hati loe sendiri”, Beni memberi saran kepada Lukman seakan - akan dia sudah tau apa yang sebenarnya terjadi.
“Diem ah!, jangan sok tau loe, biar gue aja yang jalanin. Gue gak mau semua tujuan gue hilang cuma gara - gara urusan kecil kayak gitu”, Lukman mencoba membantah semua pernyataan beni terhadap dirinya. Padahal dalam hati Lukman, urusan yang barusan dia bilang kecil itu adalah sangat besar bagi dirinya. Dia sadar jika hal ini tidak dia rawat dengan teratur maka semua tujuannya hancur.
“Ya udah, terserah sih, gue sebagai teman cuma ngingetin. Dah yuk cepet!, dah mulai hujan nich”, Beni berjalan cepat diikuti oleh Lukman yang tepat berada di belakang Beni.
Sesampainya di depan kelas, tanpa disadari aqua gelas yang dipegang oleh Lukman pecah di tangan Lukman ketika melihat Dewi sedang asik ngobrol dengan Isnan.
“Kenapa loe?”, tanya Dewi.
“Tau tuh, tangan gue tiba - tiba aja cacat”, Lukman menjawab pertanyaan Dewi dengan tersenyum sembari menahan rasa cemburu yang tiba – tiba keluar dari lubuk hatinya.
“Kapan loe normal?.” Kayaknya akan menjadi sejarah dunia baru kalo Lukman kembali normal”, canda Dewi.
“Bagus kali”, balas Lukman tertawa sembari membersihkan cipratan air yang tumpah di kaosnya”
“Dosennya gak ada ?”, tanya Lukman kepada kedua temannya yang sepertinya obrolannya akan memakan waktu lama.
“Gak ada. Untungnya gak ada tugas”.
“Trus, anak - anak pada gak pulang ta?”.
“Ujan sayang,,,, loe gak liat apa tadi!. Loe kan abis dari luar. Gimana sih!, dasar cacat”.
“Oh iya”, Lukman terkesan bodoh di hadapan Dewi.
Selang beberapa menit kemudian, Lukman keluar dengan membawa tas kebanggaanya yang telah menemaninya sejak SMP.
“Loe mau balik sekarang!”, tanya Dewi.
“Iya, gak tau kenapa koq hawanya gak mood gimana,,,, githu”, jawab Lukman dan langsung pergi meninggalkan Dewi dan Isnan yang terus mengobrol di depan kelas.
Lukman pun langsung pergi ke parkiran dan mengambil motornya agar hati yang kacau ini kembali tenang. Dia tidak berpikiran bahwa hujan yang lebat itu bisa berbahaya bagi dirinya yang sangat gila dengan jalanan. Sayangnya pikiran dia berkata ‘lebih baik pulang dari pada hawa gue gak enak di dalam kampus’. Biasanya dia ingin berlama - lama di kampus tetapi untuk kali ini dia lebih suka mengikuti pikirannya dari pada kebiasaannya.
Selama perjalanan, otaknya tak pernah lepas dari Dewi. Selalu saja Dewi yang muncul di pikirannya. Dewi yang sedang asik bersama isnan. Dewi yang kali ini membuat pikiran dan hatinya kacau dan panas. Sayangnya, semakin dia menekan kata Dewi dari pikiran dan hatinya, kecepatan motornya semakin cepat. Padahal jalanan saat itu sangat licin tetapi pikiran saat itu hanya bagaimana caranya menekan kata Dewi dari pikiran dan hatinya. Hingga ingatlah dia dengan perkataan Dayat ‘Misal loe hancur cuma gara - gara hati loe tuh, gue pastiin tuh cewek bakal masuk rumah sakit’ dan pikirannya tiba - tiba melayang keluar dari tubuhnya dan melihat sosok Dewi yang berada di rumah sakit akibat perbuatan temannya, Dayat. Dia pun keluar dari rumah sakit dan mencari sosok Dayat yang telah melukai Dewi hingga Dewi terbaring di rumah sakit
“Dayat, apa yang loe lakuin sama Dewi?”, teriak Lukman emosi melihat sosok Dayat di gerbang rumah sakit. Lukman pun tersadar bahwa dirinya sedang bermimpi dan sudah tidak ada di jalan raya lagi. Dia melihat dirinya sudah berada di sebuah kamar yang bersih dan pakaiaanya yang mestinya basah sudah berubah menjadi pakaian yang kering lagi bersih.
“Gue dimana?”, Lukman bertanya - tanya dengan dirinya sendiri. Ingin sekali dia menggerakan badannya tetapi badannya terasa kaku sekali. Perlahan namun pasti dia berusaha bangun dari tempat tidur dan memperhatikan kamar siapa ini.
“Anak jalanan!, syukur deh dah bangun”, tiba - tiba datang seorang wanita berjilbab yang suaranya sangat akrab di telinganya.
“Putri!”, Lukman heran, bagaimana dia bisa berada di rumah Putri, salah seorang sahabatnya di sekolah dulu.
“Nek, kok gue bisa di sini?”, tanya Lukman terhadap Putri.
“Ceritanya panjang, biar bokap gue aja yang nyeritain semuanya”, Putri pun keluar untuk memanggil ayahnya. Sang ayah pun datang dan menceritakan bagaimana kronologi kejadiannya hingga akhirnya Lukman bisa sampai ke rumah sahabatnya, Putri.
“Lalu motornya?!”, tanya Lukman yang teringat dengan motor yang dia bawa.
“Alhamdulillah, motornya gak papa. Cuma kamu aja yang tercebur ke sungai”.
“Hah!”, mata Lukman terbelalak kaget.
“Aku kecelakaan sampai tercebur ke sungai”, tanya Lukman berusaha meyakinkan bahwa yang barusan itu benar - benar terjadi.
“Iya, ya untungnya kamu gak sampai terseret arus. Padahal arusnya deras lho tapi entah kenapa kamu tuh bisa menyelamatkan diri sampai ke pinggir sungai dan pingsan di pinggir sungai.”.
“Sekarang, lebih baik kamu istirahat di rumah kami. Besok pagi kamu bisa pulang koq. Gimana?”, ayah Putri menawarkan jasa rumahnya kepada Lukman agar bisa dijadikan sebagi tempat untuk menginap.
“Sebelumnya, saya berterima kasih kepada om dan sekeluarga yang telah menolong saya hingga saya masih bisa melihat om dan sekeluarga. Tetapi maaf om, saya tidak mau mengkhawatirkan kelurga saya di rumah. Apalagi teman saya Dayat. Jika dia tau saya sampai seperti ini, saya khawatir akan ada perang dunia ketiga antara saya dengan dia”, Lukman menolak petolongan keluarga Putri dengan halus karena dia khawatir mimpinya tadi akan menjadi kenyataan.
Ketegasan Lukman dalam mengambil keputusan membuat ayah Putri tidak bisa menghalangi Lukman untuk segera pergi dari rumahnya. Ayah dan Putri pun langsung menyiapkan pakaiannya yang basah dan semua barang yang dibawa oleh Lukman.
“Om!, pakaiannya gimana?”, tanya Lukman kepada ayah Putri karena dia sadar bahwa pakaian yang sedang dia pakai bukanlah kepunyaannya.
“Sudah, buat kamu aja. Anggap aja itu hadiah dari om untuk kamu”, jawab ayah Putri kepadanya.
“Sebelumnya om mau tanya. Boleh tau siapa Dewi?. Soalnya waktu om mengangkat kamu dari pinggir sungai, om sempat mendengar kata Dewi dari mulut kamu. Jadi, bisa tau Dewi itu siapa?”, tanya ayah Putri heran kepada Lukman.
“Om salah dengar kali, masa orang kecelakaan nyebutnya Dewi. Emang saya penyembah Dewi apa!!”, canda Lukman.
“Ya udah, berangkat sana, nanti kemaleman lagi nyampenya. Hati - hati di jalan. Gak usah ngebut lagi”.
“Ok om dan makasih atas semua pertolongannya”, Lukman pun pergi dan meninggalkan rumah keluarga Putri. Dia sadar bahwa jam telah menunjukan pukul 9 malam. Dia yang mestinya jam 3 sore sudah santai di rumah harus seperti ini cuma karena nama Dewi yang menempel di hatinya.
“Ya Allah, tunjukan hambaMu yang sesat ini”, Lukman menghiasi perjalanannya dengan doa penuh pengharapan. Dia sadar bahwa dia itu hanya manusia biasa. Manusia yang bisa celaka. Dia sadar walau cinta dia itu bukan cinta milik manusia biasa tetapi itu tidak merubah dirinya menjadi dewa yang bisa terus menahan penderitaan. Bukan dewa yang tidak bisa mati dengan mudah. Dia sadar bahwa dia itu hanya manusia ciptaan tuhan yang sewaktu - waktu bisa pergi tanpa dia sadari dari dunia ini.
Sesampainya di rumah, Lukman langsung ke kamarnya dan tidur. Dia tidak bermaksud untuk menceritakan semua yang barusan terjadi kepada keluarganya. Cukuplah dia dan keluarga Putri yang tau tentang kejadian yang baru saja menimpanya. Toh gak ada yang peduli jika dia menceritakan kepada keluarganya karena keluarga yang dia punya tidak ada di dalam rumah. Keluarga bagi dia adalah sahabat seperti Dayat dan Putri yang selalu setia mendampingi semua permasalahannya.
“Aku rindu kehidupanku yang dulu”, Lukman menangis di dalam dekapan bantal, mengingat persahabatan antara dia, Dayat, dan Putri. Persahabatan yang sulit dicari di kota sebesar Jakarta.
“Di mana aku bisa menemukan kalian?”, Lukman bertanya pada dirinya sendiri sebelum akhirnya pergi ke alam mimpi.
***
Di pagi hari yang cerah, Lukman sudah disibukan dengan satu pesan sms dari sahabatnya Dayat “Lukman, gue tnggu dtmpt biasa kta kmpl jm 5 sre”, sms yang sederhana ini membuat Lukman berpikir kenapa Dayat yang tinggal di Yogyakarta berada di kota Jakarta. Padahal dia tau bahwa waktu kuliah Dayat lebih padat dari pada waktu kuliah yang dia punya.
Selama kuliah, pikiran Lukman terbagi dua. Selain memikirkan kuliah, Lukman juga terus memikikan sebab Dayat bisa ada di Jakarta hari ini.
“Jangan - jangan!”, Dayat tersadar ketika dia ingin pulang dari kampus. Dia tersadar setelah melihat Dewi.
“Jangan - jangan Dayat tau kalo dia kecelakaan karena Dewi. Wah gawat, kayaknya gue harus cepet ketemu dia di tempat biasa. Kalo gak, mimpi buruk tentang Dewi bisa menjadi kenyataan”, Lukman langsung bergegas ke motornya, keluar dari parkiran, dan melaju dengan cepat ke tempat biasa dia kumpul.
“Udah lama nunggunya?”, tanya Lukman kepada Dayat yang sepertinya sudah sejak pagi dia di sana.
“Kalo buat loe, gak ada kata lama”, canda Dayat.
“Terus ada urusan apa loe kesini?”, Lukman duduk dan mulai merasa nyaman dengan kondisi yang dibuat Dayat. Tiba - tiba ekspresi Dayat pun berubah seketika. Dayat yang beberapa menit lalu bersikap ramah berubah menjadi beramarah. Dayat pun melempar kertas ke hadapan Lukman yang isinya membuat Lukman menjadi was - was.
“Lukman!, gue tau semua yang menimpa diri loe kemaren. Jangan pikir kecelakaan yang menimpa diri loe terakhir gue gak tau”, Dayat kesal..
“Kertas ini buktinya. Gue bisa twu semua tentang Dewi. Cewek yang mungkin bisa buat loe berantakan. Sampe hal tersebut terjadi, gue pastiin bahwa dia akan lebih berantakan dari pada loe sendiri, dan inget!, persahabatan yang kita bangun selama ini gue anggap sudah berakhir kalo itu beneran terjadi”, ancam Dayat lalu pergi meninggalkan Lukman sendirian.
Selang beberapa menit kemudian, Putri datang dan melihat Lukman hanya sendirian.
“Man!, Dayat mana?”, tanya Putri kepada Lukman.
Lukman hanya diam tak menjawab sepatah katapun. Putri pun sadar apa yang telah terjadi dan paham setelah melihat semua kertas yang diberikan Dayat untuk Lukman.
“Lukman!, mungkin ini adalah harga untuk menyelamatkan seorang sahabat”, Putri langsung pergi karena tidak mau menambah beban sahabatnya Lukman.
Lukman mencermati apa yang dikatakan oleh Putri, “inikah yang mesti dibayar Dayat untuk menyelamatkan jiwa gue. Waktu kuliah, uang, tenaga, semua pasti membutuhkan pengorbanan yang besar”. Lukman pun menangis karena tau bahwa sahabatnya begitu memperhatikan dirinya.
“Benar kata Putri, ini adalah harga yang harus dibayar untuk menyelamatkan seorang sahabat ”, Lukman langsung mengeluarkan hand phonenya dan memainkan jarinya untuk mengetikkan
“Dayat, gue gak akan hancur karena cinta, gue akan bangkit karena cinta. Ini adalah janji gue kepada loe”, dan massage tersebut langsung dikirimkan kepada Dayat, sahabatnya yang paling setia..
***
Setaun sudah Lukman menjalani kehidupannya bersama teman - temannya di kampus. Terkenanglah Lukman dengan semua problem dari teman, kecelakaan, ataupun perasaannya. Diapun tak menyangka bahwa perasaan yang dulu hampir menghancurkan persahabatan antara dia, Dayat, dan Putri telah berhasil dia jaga dengan baik. Sehingga perasaannya itu membuat dia berkembang menjadi lebih baik dari sebelumnya dan yang terpenting bagi dirinya adalah dia mampu memenuhi janjinya kepada Dayat.
“Ayo semuanya dah siap?”, tanya Lukman kepada teman - temannya setelah UAS.
“Udah - udah, tinggal berangkat kok”, jawab Bambang selaku KM bagi kelas Lukman.
Setelah beberapa menit kemudian, rombongan kelas tercacat di kampus pergi ke puncak dengan riang gembira. Semua bergembira, bernyanyi, bahkan bercacat ria bersama – sama tetapi perasaan itu tidak terpancar dengan deras di wajah Lukman. Ada air mata yang ingin keluar dari mata Lukman. Ingin dia bergembira bersama tetapi hatinya tidak bisa ikut bergembira karena pikirannya hanya tertuju pada kata perpisahan.
“Say!, koq diem!, biasanya loe yang paling rame?”, tiba - tiba Dewi menghampiri Lukman yang sedang melamun sepi.
“Gak papa lagi, cuma mikirin nanti acaranya apa!”, jawab Lukman santai.
“Beneran gak papa!”, Dewi memastikan keadaan Lukman. Lukman hanya mengangguk tanda dia benar - benar tidak punya masalah. Dewi pun langsung pergi bergabung dengan yang lain setelah melihat bahwa teman yang selalu mengganggunya itu dalam keadaan nyaman dan senang.
Saat malam tiba, acara yang paling ditunggu oleh Lukman akan dimulai. Acara api unggun, acara yang akan dipenuhi oleh isak tangis dan mungkin canda tawa dari anggota kelas tercacat di kampus.
“Ok!, semuanya gue harep melingkar dan saling berjabat tangan antara satu dengan yang lain”, teriak Lukman lalu dibantu oleh teman - temannya yang sudah merencanakan isi acaranya sebelum UAS tiba. Tanpa butuh hitungan waktu, api unggun yang dibuat beramai – ramai pun telah dikeliingi oleh anggota kelas.
“Ok!, sekarang gue harep pada momen ini, semua bisa meluapkan seluruh perasaannya”, Ichan mulai angkat bicara.
“Maksudnya?”, tanya salah seorang anak kelas kepada Ichan.
“Jadi gue harep, semua rasa bersalah loe kepada seseorang, rasa suka loe kepada seseorang, rasa seneng loe kepada seseorang, bahkan rasa cinta loe kepada seseorang loe sampein pada momen ini. Inget cuy, mungkin ini adalah hari terakhir kita bisa bersama - sama lagi. So, gue harep jangan pernah loe sia - siain ni waktu”, jawab Ichan dengan jawaban yang sangat padat sehingga membuat suasana menjadi hening dan senyap. Dari pernyataan Ichan barusan juga membuat sebagian anak kelas mulai membasahi mata mereka dengan air mata mereka sendiri.
“Ok!, mungkin biar gue dulu aja ya”, Bambang mengawali momen ini tanpa pikir panjang.
“Gue bersyukur bisa nemuin kelas seperti kalian. Gue bisa tertawa bareng kalian, bisa berbagi kebahagiaan sama kalian, bisa curhat kepada kalian”, airmata Bambang tanpa terasa keluar dari matanya.
“Cuma terima kasih yang bisa gue sampein kepada kalian, kepada Ruri yang selalu menemani gue ke kampus, buat Ichan yang ngajarin gue ilmu cacat, buat Lukman yang memberi gue banyak ilmu walaupun sebagian ada yang cacat. Cuma itu yang bisa gue sampein kepada kalian semua dan bagi yang merasa sakit hati karena ulah gue, gue harep bisa maafin gue. Terutama untuk ibu Negara yang penuh rasa sabar menahan emosi karena hampir tiap hari diejek-ejekin oleh gue dan anak - anak yang laen. Itu bukan maksud gue ma anak - anak untuk nyakitin loe Nhop!, itu karena cara kami mengungkapkan rasa sayang seorang sahabat kepada loe”, perkataan Bambang membuat suasana malam tersebut bertambah sedih. Sudah banyak air mata yang keluar dari wajah tiap - tiap anak kelas. Ada yang hanya sedikit meneteskan air matanya, ada yang menangis tersedu sedu, bahkan ada yang sampai menangis cengeng seperti anak ayam yang kehilangan induknya.
Dari pembicaraan yang diawali oleh Bambang mengakibatkan masing - masing anak angkat bicara, dari ibu negara, Ichan, Dewi, pokoknya semua anak kelas mulai angkat bicara.
Hingga akhirnya Lukmanpun mulai berbicara, “Kawan - kawanku yang cantik, ganteng, manis. Bingung gue mau ngomong apa, jujur cuma ini yang paling gue takutkan selama ini.”
“Perpisahan”, nada Lukman mulai semakin berat, menandakan dia berusaha sekali untuk menahan air matanya keluar dari matanya.
“Gue ikut kata Bambang, cuma terima kasih kepada kalian yang udah support gue selama ini dan minta maaf juga kepada kalian semua yang mungkin pernah disakitin oleh gue. Terutama kepada orang yang bernama…”, perkataan Lukman mulai terganjal oleh perasaan yang selama ini dipelihara oleh Lukman.
“Dewi, orang yang gue sadari dari lubuk hati gue yang paling dalam adalah orang yang sering gue sakitin setelah ibu Negara dan yang terpenting adalah orang yang telah memunculkan perasaan indah dalam diri gue”, hati Lukman yang sejak dulu tertekan terasa plong, seakan hidupnya di dunia ini terkesan lancar tanpa hambatan.
“Perasaan yang gue juga gak ngerti bisa gue sebut apa. Perasaan yang membuat gue bisa bertahan dalam segala rintangan yang gue hadapin dalam kehidupan ini dan gue akan menyesal seumur hidup jika perasaan ini gak gue ungkapin pada malam ini karena mungkin ini adalah hari di mana kita bisa bersama.”, air mata Lukman yang dari tadi ditahan akhirnya menetes.
“Sebelum gue mengakhiri pembicaraan gue ini, gue mau minta maaf kepada Isnan yang mungkin lebih kenal Dewi dari pada gue. Gue tau!, gue gak pantas berkata seperti ini tetapi ini adalah momen yang tepat untuk bisa berterima kasih kepada Dewi. Beruntung loe bisa kenal lebih dekat dengan Dewi dari pada gue karena gue yakin hidup loe bisa lebih baik dari pada kehidupan gue. Mungkin cuma ini yang bisa gue sampein sama kalian semua, gak lebih.”, Lukman mengakhiri perkataannya karena dia sudah tidak mampu lagi untuk mengungkapkan perasaannya kepada seluruh anak kelas. Terpancar rasa bahagia yang muncul dari wajah Dayat walaupun kebahagiaan itu diikuti oleh air matanya yang keluar dengan deras dari matanya yang coklat. Tetapi bagi dia, air mata ini bukan air mata kesedihan yang selalu dia rasakan pada perpisahannya kepada sahabatnya dulu. Air mata ini adalah air mata bahagia yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
***
Di malam yang semakin larut, Lukman yang sedang berada di puncak bersama teman - teman sekelasnya termenung sendiri memikirkan malam yang akan berganti pagi. Lukman sedang termenung di tempat yang dia yakin bisa melihat keindahan yang selalu dikejar oleh teman - temannya ketika naik gunung bersama, sunrise. Lukman termenung memikirikan bahwa dia akan berpisah dengan teman - temannya di kelas. Walaupun perpisahan itu hanya sebatas kelas tetapi belum tentu dia bisa bertemu orang - orang yang seperti sekarang ini. Orang - orang yang dikenal paling cacat di kampusnya. Dia pun sadar dia akan berpisah dengan Dewi tetapi dia juga harus sadar bahwa Dewi itu siapa. Dia harus bisa memposisikan Dewi di hadapannya sebagai apa. Dia sadar bahwa posisi Dewi tidak boleh lebih dari seorang teman, tidak lebih dan tidak kurang.
“Ngapain loe pada kesini?”, Lukman bersuara ketika tau Dewi dan Isnan datang menghampirinya.
“Gue mau minta maaf aja ma loe, mungkin selama ini tanpa sadar gue dah nyakitin perasaan loe. Gue dah denger semuanya dari Beni barusan, jadi,,,,”, jawab Dewi dan mulai duduk di dekat Lukman.
“Kayaknya gak ada yang perlu dimaafin, gue mestinya sadar dari dulu, cuma loe tau sendirilah kalo gue tuh lebih suka tantangan”, jawab Lukman yang terus melihat tempat di mana matahari akan terbit.
“Maksud loe?”, tanya Dewi heran.
“Bagi gue, kata yang sulit keluar setelah kata maaf adalah cinta, dan gue menantang cinta itu untuk bisa dikatakan, itulah tantangan terbodoh yang pernah gue lakuin seumur hidup.”, jawab Lukman tertawa.
“Tetapi gue salut ma loe”, Isnan yang sejak tadi bersama Dewi mencoba menghibur Lukman. “Gue salut loe bisa memelihara rasa cinta loe selama setaun. Gue salut kalo cinta loe tuh bukan cinta milik manusia biasa karena cinta manusia biasa itu hanya sebatas nafsu belaka”, Isnan mempertegas pernyataannya.
Lukman hanya bisa tersenyum mendengar hiburan dari Isnan yang mengingatkan dia dengan perkataan Dayat tentang cinta yang bukan milik manusia biasa.
“Terus, loe gak tidur?”, tanya Dewi yang sudah berdiri untuk pergi meninggalkan Lukman seorang diri karena sepertinya lukman sedang ingin sendiri dan sedang tidak ingin diganggu oleh siapapun.
“Gak, gue mau menunggu orang - orang terbaik gue yang berjanji akan datang saat matahari terbit”, Lukman terus saja memandangi tempat matahari akan tebit. Sedangkan Dewi dan Isnan pun pergi meninggalkan Lukman seorang diri setelah mendengar jawaban Lukman yang sederhana.
Di kesendirian itu, air mata Lukman mengalir dengan derasnya. Air mata bahagia karena telah mengungkapkan perasaannya yang sudah lama terpendam dan air mata kesedihan karena dia tidak akan sekelas lagi dengan Dewi. Ingin Lukman menghentikannya tetapi dia tidak kuasa karena mungkin ini adalah air mata yang belum tentu dia dapat di kehidupannya mendatang.
Tanpa terasa matahari akan terbit di ufuk timur. Mata Lukman yang merah karena air mata dan juga rasa kantuk mulai sedikit tertutup ingin tertidur. Lukman yang telah bertekad akan menunggu keluarganya tanpa tidur sudah semakin tak kuasa karena matanya mulai tertutup sedikit demi sedikit.
“Lukman!”, terdengar suara Dayat dan Putri bersamaan dengan indahnya sunrise di ufuk timur. Mata Lukman yang hampir saja terlelap langsung terbuka karena janji Dayat yang akan menjemputnya pergi mengenal dunia liar terbukti.
“Sudah siap?!”, tanya Dayat.
“Yuk, kita berangkat, gue gak mau berlama - lama lagi di sini”, jawab Lukman tanda sudah siap lalu berdiri sembari meregangkan persendian tulang - tulangnya.
“Temen - temen loe?!”, tanya Dayat untuk yang kedua kalinya.
“Udah ah, gue gak mau hati gue yang sudah plong ini terbebani untuk yang ke sekian kalinya, nanti bisa gue sms koq, nyantai aja”.
Dayat yang sudah mengerti bagaimana keadaan Lukman langsung bersiap berangkat menuju dunia yang penuh tantangan. Lukman yang tasnya sudah dibawakan oleh Dayat langsung mengambil tasnya dari pundak Dayat dan berangkat pergi bersama Dayat dan Putri.
Sembari menikmati angin segar dalam perjalanan, Lukman mengetikan pesan singkatnya dan mengirimkan ke seluruh teman – temannya, “Woi, sry gue blk duluan, gue da urusan pntng n salam ma yg laen, ok n untk Dwi n Isnan jga dri klian baik2”. Teman - temannya yang bangun dan sadar bahwa Lukman sudah pergi sebelum yang laen bangun hanya bisa bertanya via sms
“Mang mwu kmna loe?”.
Sayangnya, sms tersebut tidak pernah digubris oleh Lukman karena dia sudah bertekad untuk tidak mengubris kehidupan temannya lagi sampai liburan kuliah berkahir. Dengan diiringi oleh indahnya cahaya mentari, Lukman pun pergi bersama Dayat dan Putri ke alam untuk belajar apa itu hidup. Alampun seakan tunduk pada persahabatan yang mereka pertahankan hingga saat ini dan alampun semakin tunduk akan sikap Lukman yang sabar dalam menerima kenyataan.
***
Tepat di mana matahari menampakan keindahan cahayanya dari ufuk timur, dua orang pemuda dan seorang pemudi sedang asyik mensyukuri nikmat Sang Pencipta atas pemandangan yang didapatkannya dari ketinggian 3428 mdpl. Pemandangan yang selalu diimpikan oleh pendaki seperti mereka. Pemandangan yang hanya bisa didapatkan dari perjalanan yang penuh tantangan.
“Lukman!, ayo turun”, Dayat meminta Lukman untuk segera turun setelah 2 jam menikmati keindahan alam semesta.
“Sebentar!, ada yang mesti gue lakuin”, Lukman meminta Dayat dan Putri untuk menunggu sejenak.
“Mang mau ngapain loe?”, tanya Putri kepada Lukman. Sayangnya, Lukman mengacuhkan pertanyaan Putri dan dia malah mengeluarkan sebuah foto dan korek api dari dalam tasnya.
“Buat apaan tuh barang ?”, tanya Putri untuk kedua kalinya.
“Liat aja”, Lukman menyalakan korek apinya dan membakar foto yang gambarnya adalah gambar Dewi dan Isnan yang sedang terlihat asik ngobrol berdua di sebuah restoran.
“Loe masih cinta ma dia?”, tanya Dayat kepada Lukman yang sedang asik membakar foto Dewi dan Isnan.
“Bingung gue jawabnya karena gue merasa perasaan itu gak pernah hilang dari hati gue. Malah semakin menguat sehingga gue dapet terus hidup untuk menjadi lebih baik. Tapi perasaan itu menjadi api saat gue lihat foto ini. Sehingga gue memutuskan untuk membakar foto ini di atas gunung dengan harapan pikiran gue tentang foto ini hilang dan cinta gue kepada Dewi bisa terus tumbuh hingga memenuhi dunia ini”, jawab Lukman penuh ketegaran.
“Walaupun dia gak pernah mencintai loe sama sekali?”, tanya Putri takjub kepada Lukman.
“May be”, jawab Lukman santai yang kemudian mulai bersiap turun dan diikuti oleh kedua sahabat terbaiknya.
Sebelum mereka benar - benar menuruni bukit yang terjal, mereka sepakat untuk bersujud sembari berdoa untuk yang kesekian kalinya kepada sang pencipta agar di hari terkahir perjalanan mereka selama dua bulan, banyak hikmah yang bisa dibawa pulang ke sekeliling mereka dan Lukman pun menutup sujudnya dengan berdoa “Ya Allah, jangan kau buat hamba gila karena cinta, jangan kau buat hamba sengsara karena cinta, jadikan cinta itu tameng bagi hamba dalam menjalani kehidupan hamba”.